Mempersiapkan Generasi Terbaik: Sebuah Renungan Pedagogis (EDITORIAL)
Oleh: Arif Budiman
Perhari ini, bapak ibu Guru tentu masih libur, meski idealnya memaksimalkan liburan bersama keluarga, namun seorang guru tentu tidak bisa lepas dari bayang pemikiran bahwa ia harus mempersiapkan diri dalam pembelajaran yang akan kembali aktif dalam beberapa hari ke depan. Panggilan pedagogis tentu panggilan yang selalu menempel pada sosok seorang guru. Kemanapun dan dimanapun, seorang guru adalah seorang guru. Di dalam dirinya selalu tertanam segala visi yang akan membentuk tugasnya di masa yang akan datang. Ia libur bukan berarti tak berpikir bagaimana proses kedinasannya ke depan, ada banyak hal dia pikirkan, tentag kelas tahun ajaran yang akan lebih baik. Liburnya bukan, ia berhenti tanpa merencanakan apa yang semestinay dilakukan. Apapan dan sesantai apapun, seorang guru sebelum ia masuk kerja nanti, ia harus mempersiapkan segala sesuatu untuk kelasnya. Anak-anak menanti.
Ruh utama pembelajaran harus selalu ditumbuhkan, ia harus selalu ada bersemai di hati sanubari tentu agar ghirah pembelajaran selalu hidup dan menyala. Pendidikan yang cinta pada sejatineng Jiwa. Ki Hajar menyebut dua yang utama dalam pembelajaran Salam dan Bahagia. Pembelajaran harus membahagiakan bukan mengancam apalagi membahayakan. Harus selalu ada revitalisasi dan penyegaran dalam pikiran kita sebagai seorang guru kemana arah pendidikan kita. Seorang pemikir negeri pernah menyatakan bahwa pendidikan adalah prses memanusiakan manusia. Saya angkat definisi ini sebab kita tengah bergiata dengan kurikulum Merdeka, sebuah istilah yang sangat dipikirkan oleh Paulo Friera, pemikir asal Brazil yang berpandangan pendidikan harus memanusiakan manusia. Pendidikan jangan menjadi ajang eksploitasi terhadap anak. Hak pendidikan semestinya terakses oleh semua anak tanpa terkecuali. Pembelajaran harus menhadirkan sisi kemanusiaan seorang nak. Bukan pendidikan yang menambah beban kebodohan bagi bangsa. Pendidikan harus mencerdaskan bukan sebaliknya.
Lalu, apakah kita sebagai pendidik telah menjalankan peran pedagogoik dengan benar atau maksimal? Meski ada prinsip ketuntasan, dalam arti kita ya kerja pas waku, kalo waktunya libur yang gunakan sebaknya untuk liburan. Tulisan ini bukan bermaksud mengajak bapak ibu yang liburan untuk kekmmbali bekerja, ini sekedar renungan, atau persiapan kecil menuju proses pengajaran yang akan segera kita gelar di kelas pembelajaran kita. Bolehlah mulai dengan evaluasi umum proses pembelajaran yang telah dilakukan, tentu ada cacat dan kekurangan disana. semisal pengambilan nilai yag tak mencukupi kurang dan nilai itu sendiri yang tidak maksimal, atau cermati betapa nilai anak kita tak sesuai harapan. Kita menilai sudah cukup tapi bagi sekolah tidak, karena ada target tertentu, terkadang cukup mengganggu konsentrasi. Ternyata pendidikan belum beranjak dari pencitraan.
Kita belum sampai pada penyelenggaraan pendidikan yang lebih jujur, apa adanya dan sesuai dengan kamampuan kita sendiri. Pendidiikan banyak terkooptasi oleh kepentingan baik politik dan ekonomi. Kemana sebenarnya arah pendidikan kita, tarik menarik pun sangat keras. Maunya memerdeka yang terjadi bisa sebaliknya. Awalnya melepaskan guru dan siswa ari rutinitas luar biasa, faktanya terjerat dalam tugas dan beban administrasi yang menyesakkan dada. Pendidikan belum sampai pada apa yang semestinya dirasa oleh manusia. Bukankah in sama artinya bahwa kita pendidikan atau kurikulum belum membebaskan, kata Freire belum memanusiakan.
*Redaksi
Post Comment