PARA “START UP” PERGERAKAN INDONESIA
PARA “START UP” PERGERAKAN INDONESIA
Oleh: Arif Budiman
Kelahiran bangsa Indonesia tidak dapat dipisahkan dari para “Start Up pergerakan” yang rela berdiri di depan mengambil segala inisiatif yang mungkin untuk kemajuan Nasib bangsanya. Mereka adalah orang yang menjadi pioneer perubahan. Mereka adalah orang-orang yang mendedikasikan ide dan gagasannya untuk Indonesia. Beragam derita dan jalan terjal adalah perjalanan panjang untuk menjadi Indonesia. Tidak semua anak muda tergugah untuk berpikir, bekerja dan berkreasi untuk Indonesia. Hanya mereka-mereka yang tajam hati, jiwa dan pikirannya yang mau sepenuhnya untuk Indonesia. Mereka adalah para start up pergerakan.
Konggres pemuda pun tidak berdiri sendiri sebagai suatu gerakan pemuda sebab telah ada benih yang tumbuh mengiringi dan membersamai kesatuan tekad untuk Indonesia Merdeka. Jauh sebelum itu, benih gerakan pemuda telah bersemi dalam gerakan-gerakan dan perlawnan daerah sebut saja, perlawanan Aceh, perlawanan Diponegoro, Perlawanan Makassar dan perlawanan daerah yang belum berada dalam kesatuan tekad, tapi itu menjadi benah bagi kesatuan perjuangan dan pergerakan Indonesia.
Di awal abad ke-20, muncul start up dalam persuratkabaran, Mas Tirto Adi Suryo. Perannya tidaklah bisa kita abaikan begitu saja dalam membangun alam berpikir kaum pergerakan pada masa itu lewat surat kabar dan organisasi pergerakan yang dibuatnya. Gerakannnya justru menjadi cikal bakal dari sarikat dagang Islam yang di kemudian berkembang oleh tokoh HOS Cokroaminoto. Kita semua mafhum bahwa COkro amninorot dikenal sebagai Guru Bangsa. Di rumahnya tinggal dan belajar atau berguru padanya tokoh tokoh yang memang pada tahap selanjutnta memiliki pandangan politik yang berbeda mereka adalah, yang pertama Semaun, yang lebih memilih aliran Sosialisme dan SM Kartosoewiryo, yang memilih gerakan kanan sebagai idiologi politiknya.
Ketika Tirto Adhi Suryo mengembangan sarikat Islam, di Solo telah sigap sosok progresive yang bukan semata kental dengan Nuansa Islam namun jiwa Nasionalisme juga yang teramat tinggi. Hasil didikannya terlihat dalam sosok Soekarno bersama dua kawannya yaitu Semaun dan Sekar Maridjan. Sosok dimaksud adalah Cokroaminoto, sang intelektual yang orator. Soekarno banyak belajar dari Cokroaminot. Lewat Cokroaminoto pula, konsep idiologi besar dunia begitu dalam terserap dalam benak ketiga orang yang bersama tinggal di rumahnya.
Di saat yang sama, muncul para “Start up pergerakan” yang bukan hanya bersifat nasional semata, namun pergerakan dengan sifat keagamaan yang memiliki kepedulian pada nasionalisme seperti Muhammadiyah yang berdiri tahun 1912 dan Nahdlatul Ulama pada tahun 1926. Sesudahnya kesadaran dan kesatuan semua pergerakan itu menemukan simpulnya dalam konggres Pemuda, yaitu kesatuan gerakan para anggotanya terdiri dari semua unsur pemuda dan pergerakan dari seluruh Indonesia.
Lewat seluruh “Start Up Pergerakan” ini telah membuka mata kita betapa kerja keras, tantangan, tekanan dan rintangan yang dialami pemuda saat itu bukanlah medan atau kenyataan yang mudah. Inisiatif menyatukan gerakan pemuda dalam cita-cita satu Nusa, satu Bangsa dan Satu bahasa harus dibayar dengan harga yang tidak murah. Mereka mengalami masa dan nasib atau perlakuan tidak enak dari kekuasaan masa itu (kolonialial). Mulai dari larangan (intimidasi), penangkapan dan pemenjaraan. Soekarno dan kawan-kawan politiknya tak sedikit harus menjadi pesakitan politik yang tidak sebentar mulai dari Tahanan Banceuy hingga Boven Digul, kamp neraka di jantung Pupua.
Kita masih membutuhkan orang-orang ini. Kita masih membutuhkan Jiwa-jiwa mereka tertanam kuat dan terus berkembang pada diri anak bangsa yang saat ini masih perlu motivasi dan dorongan kuat untuk mewujudkan Indonesia yang hebat. Bangsa yang semestinya jaya, bangsa yang semestinay disegani Dunia. Penulis yakin bahwa Indonesia akan bisa menjadi bangsa yang besar jika para start up diberikan ruang yang luas untuk terus berpikir dan bekerja keras. Jangan matikan idenya. Jangan biarkan karyanya disia-sia.
Siapakah mereka. ?
Berakhirnya kolonialisme bukan berarti tekanan dan derita telah usai. Banyak kesulitan yang jauh lebih sulit yang menjadikan bangsa Indonesia tak beranjak menjadi baik. Bahkan cenderung tertinggal. Tantang kita sebagai bangsa har ini bukan pada tajamnya Bayonet atau serbuah peluru dan dentuman meriam ataupun Bom, tantangan bangsa kita hari ini adalah kolonialisme baru dalam bentuk yang lain. Sebut saja serbuan teknologi tanpa kita menjadi pemanfaat yang positive maka sesunguhnya kiat sedang dan masih dijajah. Kecenderungan menggunakan produk luar dan sangat bergantng pada hal itu, maka posisi Indoenesia saat ini bukan lagi sebagai pemiik tapi budak asing yang selalu aan tertindas.
Maka menjadi “Start up” dalam bidang teknologi sebagaimana yang telah diperlihatkan oleh start-uper muda Indonesia seperti Nadiem Makarim dengan Gojeknya bisa dikategorikan sebagai bukti bahwa perubahan besar bagi bangsa Indonesia senantiasa dan Insya Allah akan senantiasa diwarnai dengan peran generasi Muda dalam menyambut Perubahan. mereka kaum muda dan paar Start Uper ini adalah orang yang berjuang keras bagi bangsa sebagaimana start up pada masa pergerakan.
Mereka adalah start up teknologi dengan serangkaian manfaat yang telah mereka berikan. Nadhiem Makarim, start Up dalam bidang Industri Digital. dan banyak tokoh yang lainnya. Ahmad Zaky dengan bisnis e-commerce Bukalapaknya dan para star uper lain, tentu nyata bagaimana karya yang telah dibuatnya, atau aplikasi yang dibuatnya telah memberikan sumbangsih besar bagi kemajuan Indonesia. Demikian hanya dengan tantangan dari proses menuju kesuksesannya tentu bukan proses Instan sebab karyanya adalah perjalanan yang panjang. mulai dari ikut berbagai iven lomba hingga usaha mie Ayam yang bangkrut. Namun tak membuatnya berhenti berusaha dan bangkit dan menemukan sebuah aplikasi atau usaha yang bisa bermanfaat bagi ornag banyak.
Kita baru memulai, atau kita baru sadar telah tertinggal. Kita terjajah oleh produk-produk atau aplikasi bangsa lain. hari ini kita baru menyadari betapa sangat tertinggalnya bangsa Indonesia dalam percepatan teknologi. Sesuatu yang semestinya akan mengangkat Indonesia pada level bangsa terhormat dan bukan tertinggal, marjinal atau dimarjinalkan. Belum terlambat untuk merebut atau mengejar ketertinggalan itu dan membersamai langkah negara maju atau lebih maju dibanding dengan negara yang lain.
Ada banyak peluang,ada banyak waktu. Ada banyak kesempatan untuk terus bekerja atau berkarya untuk kebaikan dan perbaikan bangsa. Jangan terlena dalam kenikmatan semu yang justru membuat kita tak berdaya oleh penjahan ekonomi dan pengaruh bangsa asing. pemuda kita, sudah semestinya terus dimotivasi dan termotivasi oleh para start up yang kreatif, yang pantang menyerah dengan tantangan yang serba cepat ini.
________
Arif Budiman, Guru Sejarah MAN 21 Jakarta
Post Comment