×

SUARA GURU SEJARAH INDONESIA

SUARA GURU SEJARAH UNTUK INDONESIA

Oleh: Arif Budiman

Hari ini kita sedang berada pada titik dimana friksi-friksi yang  telah terjadi  kini telah berlalu. Sebut saja ketegangan akibat pemilu yang telah menarik kencang urat leher kita sedemikian kencangnya. Akibat dari friksi friksi itu telah menyebabkan kita hampir tak mau bertegur sapa dengan teman, tetangga bahkan saudara kandung sendiri.

 

Pada titik yang lebih sejuk ini, semestinya kita harus lebih menerima siapa yang jadi pemenang karena memang semestinya harus ada yang pemenang. Kita juga harus menerima jika kalah karena dalam suatu kompetisi memang semestinya ada pihak yang kalah. Situasi semacam ini dapat dipandang sebagai sebuah kenyataan. Dan dari fenomena kompetisi ini terkandung makna yang semestinya tertanam kuat di antara kedua belah pihak yaitu bagaimana keduanya menyikapi posisinya baik sebagai pihak menang ataupun pihak yang kalah. Dan sebaliknya yang tidak menarik adalah ketika kemenangan ataupun kekalahan itu melahirkan permusuhan dan friksi-friksi jahat yang mengancam atau merusak.

 

Ketika friksi kelompok menguat dan anarkhis dan mengancam kesatuan, maka semangat kebangsaan kita seolah hanya menjadi cerita atau slogan. Ketika beragam konflik menerjang, maka unsur-unsur pemersatu menjadi suatu yang sangat dibutuhkan. Dalam kenyataan konflik, tentu masih ada yang memandang bahwa konflik itu karena adanya perbedaan. Artinya perbedaan yang jadi tumpuan kesalahan. Bukankah jika kita dilahirkan dalam kondisi sama, maka tak ada faedah, alias tak ada artinya. Kita sejak lahir telah ada dalam keadaan berbeda, maka berbeda atau perbedaan semestinya tak perlu lagi dipersalahkan. Perbedaan semestinya menjadi berkah atau rahmat, yang lahirkan kebhinekaan yang lama kita rasakan. Karenaya bekal perbedaan ini semestinya bukan menjadi masalah, tapi justru sebaliknya menjadi berkah.

 

Keberagaman di bangsa Indonesia adalah fakta historis. Keragaman itu tidak hanya berlaku dalam perbedaan agama yang faksional (Islam, Hindu, Buda dan Kristen dan lainnya), namun di dalam agama itu sendiri juga ada perbedaan. Maka ketika tak ada lagi perbedaan, katakanlah satu negara agamanya sama, bukan berarti didalamnya tak ada konflik. Pasti ada konflik sebab dalam kesamaan agama itu  ada peluang perbedaan cara pandang tentang terhadap tafsir dari doktrin agama tersebut. Saya kira perbedaan tafsir agama itu terjadi hamper di semua agama. Dan karenanya kita tak perlu menyalahkan menyalahkan dan memaksakan tafsir  dan menilai tafsir kita yang paling benar. Sampai di poin ini, mungkin inilah makna toleransi yang pernah kita dengar. Atau bisa jadi kita gagal dan tak mampu melihat lebih dekat akar masalah yang sesungguhnya.

Setelah pengumuman Susunan Kabinet Indonesia Maju beberapa saat lau. Kritik terhadap susunan kabinet yang baru pun tak terelakan. Ada yang memuji, banyak pula yang mencerca. Lagi-lagi tak ada keputusan atau sesuatupun yang dinilai sempurna. Selalu ada kekurangan dari sisi-sisi yang kita pilih atau putuskan. termasuk Presiden. Maka menerima itu barangkali akan sama beratnya dengan ketidakterimaan kita terhadap calon yang terpilih atau presiden terpilih. Tapi Konstitusi menjadi panglima, kekuasaan hokum dan institusi yang memaksa rakyat untuk mau tidak mau tunduk. Terhadapa hasil pemilu, pantas kita berikan apresiasi yang besar buat rakyat Indonesia yang bisa menerima segala keputusan (sengketa) hasil pemilu. Meski tetap ada saja kelompok yang tak terima, namun secara umum rakyat Indonesia menerima hasil pemilu. Termasuk bersatunya dua kelompok yang saling berebut dukungan (Prabowo yang menyatu dalam Susunan Kabinet) adalah pemandangan langka yang terjadi dalam pentas politik.

Tentang fakta ini, kita seperti sedang disajikan sebuah pertunjukkan paling mengharukan, sesuatu yang menyejukkan. Inilah pertunjukan baru politik Indonesia. Indonesia yang semestinya maju dan terus maju. Memang benar tidak ada musuh yang abadi, sebab yang ada adalah Kepentingan Abadi. Mudah-mudahan pemimpin yang bersatu bukan semata bersatu untuk kepentingan tapi untuk kemaslahatan dan kebaikan bangsa Indonesia. Mudah-mudahan tak ada lagi istilah “Cebong” dan “Kampret”. Mudah-mudahan tak ada lagi friksi yang mengeras dan hampir mewarnai hari-hari kita.

Untuk para mentri selamat bekerja dan selamat berkarya untuk Indonesia. Terkhusus untuk Mentri pendidikan yang baru, Selamat bekerja mengemban Amanah Pendidikan yang selama ini dipegang oleh orang dengan latar belakang ormas Keagamaan ataupun ahli Pendidikan, kini diamanahkan pada seorang Pengusaha Muda yang sukses dibidangnya. Kita hanya bias menilai bahwa presiden punya niat tertentu, yang dipilihnya demi Majunya Indonesia. Bukan pada persoalan latar belakang mentri itu yang perlu diperdebatkan. Yang mesti didiskusikan dalam penyelenggaraan pendidikan kita adalah dua polarisasi yang sering bahkan bertumbukan. Polarisasi Pertama, adalah lemahnya Moralitas generasi, yang akhir-akhir ini dirasai makin memprihatinkan.

Tengoklah bagaimana, moralitas generasi muda kita yang jauh dari harapan, contoh murid yang melakukan kekerasan terhadap guru seperti pemukulan bahkan pembunuhan adalah fakta miris pendidikan kita. Apa sebenarnya akar persoalan dari fenomena mengenaskan dari pendidikan kita. Apa yang salah, Gurunyakah?

Fakta lain, disaat kita sibuk mengurusi dan memperbaiki mental dan Moral, Tiba-tiba kita diminta berganti arah fokus pada teknologi. Sebaliknya saat kita fokus dengan teknologi, moralitas kembali terlunta-lunta atau terabaikan. Maka Idealnya adalah menyeimbangkan antara pembangunan moralitas SDM dengan Penguasaan mereka dalam Ilmu pengetahuan dan teknologi. Sejauh ini belum terlihat fakta Riil yang memperlihatkan keberhasilan pendidikan kita dari dua aspek tersebut diatas.

Pendidikan adalah proses pembentukan generasi yang basiknya adalah individu, maka  mendidiknya membutuhkan kerja keras dan cerdas. Guru dituntut untuk bisa memahami dengan baik bagaimana membangun SDM. Pola pengajaran juga harus dirancang dalam bingkai perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat cepat itu. Memaksa siswa untuk mencatat di papan tulis (CBSA atau Catat Buka Sampai Abis) sudah bukan zamannya lagi. Meminta murid dengan sistem klasikal dalam menghafal suatu materi pelajaran tertentu juga sudah bukan zamannya nya lagi. Menganggap anak tak tahu apa-apa juga tak semestinya dilakukan sebab berita di Media Medsos (WA, Instagram,) adalah teknologi yang selalu menyuapi mereka dengan segudang fakta setiap hari.

Semestinya visi guru di era ini merubah mindset-nya. Bukan lagi cara lama yang “menyiksa” (mengekang). Evaluasi ini sekaligus masukan untuk mentri yang baru tentang masih banyaknya guru yang kukuh dengan cara lamanya. Semestinya seorang guru adalah seorang penggiat pendidikan yang memahami betul kebutuhan dan hakikat pendidikan dan tidak terpaku pada pola lama yang memenjara Siswa dalam kerangkeng kurikulum yang menyiksa itu. Sekolah bagi anak selama ini seolah menjadi tempat yang mengerikan, bukan sekedar penjara bahkan neraka. Jarang menemukan ruang humanis yang membuat anak nyaman.

 

Maka kesimpulannya dapat dilihat dalam dua aspek yaitu siswa dan guru. Pertama, Siswa sebagai objek utama pendidikan dengan Indikator moralitas yang baik, ini masih jauh dari harapan. Karenanya pihak guru ataupun sekolah jangan sampai melupakan soal moralitas. Kedua, guru sebagai penyelenggara yang meliputi pemerintah, dinas dan sekolah harus bertransformasi dengan perubahan untuk mendapatkan pembelajaran yang efektif. Semata agar guru tidak memaksakan konsep lama, dan terjebak dalam pengajaran yang konvensional lagi membosankan

Dan yang tak kalah penting dari aspek tersebut diatas, pendidkan Indonesia harus tetap terkawal dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan dasar itu maka pendidikan adalah sarana untuk membangun karakter bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dimana nilai dasar karakter bangsa tetap terpelihara yaitu pribadi yang berketuhanan, Berperikemanusiaan, memegang teguh persatuan, Berdemokrasi dan memiliki jiwa social atau berkeadilan.

 

Selamat kepada Bapak Nadiem Makarim yang terpilih sebagai Mentri pendidikan yang baru, selamat bertugas mengemban tugas dalam bidang pendidikan. Mudah-mudahan amanah dalam menjalankan tugas pendidikan. Dunia yang sangat fleksibell dan semestinya mau dan mampu selalu berubah mengikuti perubahan. Pendidikan adalah dunai dinamis sebab objek utama dalam pendidikan adalah manusia yang selalu berubah dan lentur dengan perubahan.

 

____________

Arif Budiman, Guru Sejarah MAN 21 Jakarta

 

Post Comment